Karena Pengalaman Pun Tak Cukup, 5 Tahun kedepan ini Kamu Mau Jadi Gembel Modern Atau Kaya Beneran?
Beberapa waktu lalu, saya ketemu teman lama waktu kuliah. Namanya Sebuat Saja Si Bro. Dulu dia termasuk orang yang saya anggap “aman secara hidup”—punya kerjaan tetap, gaji lumayan, rumah kecil di pinggiran Kota, dan keluarga kecil yang harmonis. Tapi waktu ketemu kemarin di sebuah kafe, saya agak kaget.
Dia kelihatan capek. Bukan capek fisik, tapi capek yang datang dari isi kepala.
Saya tanya pelan, “Kerjaan masih di tempat yang dulu, Bro?”
Dia cuma senyum. “Masih. Tapi, kayaknya udah nggak cukup, bro. Cicilan naik, anak masuk sekolah, harga bahan pokok gila-gilaan.”
Saya diam. Karena saya paham banget perasaan itu. Sebagai Bapak bapak yang sama sama sekarang menanggung kebutuhan keluarga tentu ya pahamlah yang dia maksud.
Di umur kepala tiga, banyak dari kita mungkin udah sadar: hidup nggak sesederhana kayak waktu kita masih kuliah. Dulu, mimpi kita cuma satu — dapet kerja bagus. Tapi sekarang, yang kita pikirin justru gimana biar tetap bisa hidup layak di tengah dunia yang makin nggak karuan.
Dulu, penghasilan 5 juta sebulan bisa bikin kamu tenang. Sekarang, itu cuma cukup buat bayar kontrakan dan belanja mingguan.
Dulu, punya mobil bekas dianggap pencapaian. Sekarang, malah bikin pusing mikirin pajak dan servis.
Dan yang paling terasa: kelas menengah makin kepepet.
Mereka yang dulu bisa jalan ke mal tiap akhir pekan, sekarang lebih sering nonton review makanan di YouTube daripada beli aslinya.
Mereka yang dulu bisa nabung tiap bulan, sekarang malah ngitung hari nunggu gajian.
Orang kaya makin kaya karena mereka punya aset dan leverage.
Orang miskin masih berjuang dengan cara lama yang kadang nggak efektif.
Sementara orang menengah — yang dulunya jadi “tulang punggung ekonomi” — pelan-pelan kehilangan posisi.
Dan itulah kenapa banyak pakar menyebut periode 2026–2030 sebagai “lima tahun penentuan.”
Entah kamu naik kelas jadi kaya, atau pelan-pelan tergeser ke bawah tanpa sadar.
Angka inflasi global mungkin terlihat kecil di berita (sekitar 3–5%), tapi realitanya berbeda di lapangan. Harga kebutuhan dasar — mulai dari pangan, transportasi, sampai pendidikan — naik jauh di atas angka itu.
Dan ironisnya, teknologi yang katanya memudahkan hidup justru menciptakan jurang baru.
Kamu mungkin sadar: pekerjaan makin cepat digantikan AI, bisnis makin kompetitif, dan skill yang kemarin masih berguna sekarang bisa basi dalam hitungan bulan.
Kenapa sebenarnya 2026–2030 bisa jadi titik paling menentukan buat hidup kita?
Kenapa banyak orang menengah bisa jatuh jadi “kelas gembel modern”?
Dan yang paling penting — apa yang bisa kita lakukan biar nggak ikut tenggelam?
Ini soal cara berpikir, cara beradaptasi, dan cara bertahan.
Kalau kamu salah langkah, hidupmu bisa stuck di tempat. Tapi kalau kamu bisa baca arah dengan benar, justru lima tahun ke depan bisa jadi lompatan hidup terbesar kamu.
Bagian 1 – Ingat Dunia Bergerak Tanpa Menunggu
Kamu pernah nggak, buka TikTok, liat orang jualan lewat live, dan dalam 10 menit mereka bisa dapet omzet ratusan juta?
Lalu kamu lihat dirimu sendiri — kerja dari pagi sampe malam, hasilnya segitu-segitu aja.
Rasanya campur aduk: kagum, iri, bingung.
Itu salah satu contoh nyata dari dunia yang udah berubah terlalu cepat.
Sekarang bukan lagi soal siapa yang paling rajin, tapi siapa yang paling adaptif dan kreatif.
Dunia kerja berubah:
-
Freelancer bisa dapet penghasilan lebih tinggi dari pegawai tetap.
-
Petani bisa kaya gara-gara tahu cara jual lewat media sosial.
-
Anak SMA bisa punya penghasilan dari AI tools, sementara orang kantoran pusing mikirin PHK.
Tapi sebagian besar orang masih sibuk nyalahin keadaan.
Padahal, dunia memang nggak akan menunggu kita siap.
Bagian 2 – Logika Kehidupan yang Berubah
Dulu logikanya sederhana: sekolah → kerja → nikah → punya rumah → pensiun.
Sekarang?
Sekolah aja belum tentu menjamin kerja.
Kerja belum tentu bisa beli rumah.
Dan pensiun? Jangan ditanya — BPJS aja kadang kayak mimpi jauh.
Kita hidup di zaman di mana logika lama udah nggak bisa dipakai sepenuhnya.
Contoh paling nyata: banyak orang yang keukeuh nabung di bank, padahal inflasi udah ngalahin bunga tabungan.
Atau orang yang mikir, “yang penting kerja stabil.” Padahal stabilitas itu ilusi — perusahaan besar pun bisa tumbang dalam semalam.
Jadi kalau kamu masih berpegang pada logika lama, kemungkinan besar kamu bakal kejebak di zona nyaman yang pelan-pelan bikin miskin.
Bagian 3 – Kelas Menengah: Korban Ilusi Kemapanan
Kelas menengah itu unik.
Mereka bukan orang miskin, tapi juga bukan orang kaya.
Mereka punya gaya hidup yang “nampak mapan”, tapi di balik itu, rapuh banget.
Punya mobil? Kredit.
Punya rumah? KPR 20 tahun.
Punya gadget bagus? Cicilan 0%.
Semuanya seolah baik-baik saja — sampai tiba-tiba ada krisis ekonomi, kena PHK, atau sakit berat.
Baru deh sadar, “Ternyata gue nggak sekaya itu ya…”
Itu sebabnya banyak analis bilang, kelas menengah bukan soal penghasilan, tapi cara berpikir.
Kalau kamu masih konsumtif, sibuk ngejar simbol kemapanan, tapi lupa membangun pondasi finansial dan skill baru — ya siap-siap aja, 2030 bisa jadi tahun yang berat.
Bagian 4 – Dunia Tanpa Kompas dan Ketika Logika Ekonomi Jadi Kacau
Sekarang ini, banyak hal yang nggak masuk akal — tapi nyata.
Harga kopi susu bisa sama dengan satu porsi makan siang.
Orang rela kredit iPhone tapi ogah beli asuransi.
Orang sibuk trading saham tapi nggak ngerti laporan keuangan.
Logika ekonomi masyarakat kita kadang kayak labirin — kelihatan mewah, tapi nggak tau arah.
Bahkan, sebagian orang percaya kerja keras aja cukup. Padahal nggak.
Yang dibutuhkan sekarang adalah kerja cerdas dan koneksi yang sehat.
Kamu mungkin pernah liat orang yang “biasa aja” tapi hidupnya naik terus. Setelah ditelusuri, ternyata dia jago bangun relasi, suka berbagi, dan nggak berhenti belajar.
Bagian 5 – Bayangan 2026–2030 ya Antara Gembel atau Kaya
Bayangin tahun 2030 nanti.
Ada dua orang dengan latar belakang sama — sama-sama kerja kantoran, gaji 10 juta per bulan di tahun 2025.
Yang satu, tiap bulan sisihin uang buat belajar skill baru, bangun relasi, dan mulai bisnis kecil.
Yang satu lagi, tiap bulan beli hal-hal yang sifatnya “pengakuan sosial”: gadget, kopi mahal, dan cicilan mobil.
Lima tahun kemudian, yang pertama punya dua sumber penghasilan dan koneksi luas.
Yang kedua? Masih di posisi yang sama, bahkan mungkin lebih buruk karena beban hidup naik.
Itulah logika sederhana masa depan.
Bukan siapa yang paling pintar, tapi siapa yang paling siap.
Bagian 6 – Yuk Coba Menata Ulang Logika Hidup
Kita sering terlalu sibuk cari uang, sampai lupa cari arah.
Padahal, logika hidup yang sehat itu bukan cuma soal penghasilan, tapi juga soal keseimbangan.
Kalau kamu mau bertahan di 2026–2030, logika hidupmu harus di-reset:
-
Uang itu alat, bukan tujuan.
Jangan sampai kerja mati-matian tapi lupa menikmati hidup. -
Skill baru lebih penting dari jabatan.
Dunia berubah, dan yang bisa bertahan cuma yang mau belajar terus. -
Relasi itu modal paling kuat.
Orang yang punya jaringan baik bisa jatuh tujuh kali dan tetap bangkit delapan kali.
Bagian 7 – Solusi Islami dan Dunia Nyata: Biar Nggak Jadi Gembel Modern
Akhirnya, semua ini balik ke diri kita sendiri.
Apakah kita mau ikut hanyut dalam arus zaman, atau mau berenang dengan arah yang jelas?
Ada empat hal yang bisa jadi pegangan menurutku, baik secara duniawi maupun spiritual. Jadi setelah saya sering ketemu orang dan mendapat banyak nasihat dari yang lebih tua, yang lebih muda atau yang seumuran. Aku jadi nyimpulin beberapa hal,
1. Perbanyak Silaturahmi
Orang sukses sering bukan yang paling pintar, tapi yang paling banyak dikenal.
Silaturahmi atau bahasa kerennya mungkin banyakin chanel bro ! ya karena memang silaturahmi bukan sekadar ibadah, tapi sumber daya kehidupan.
Kadang peluang datang bukan dari lamaran kerja, tapi dari seseorang yang percaya pada kamu. Ijin ngutip panutan hadist yak, hehe :
“Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ga perlu saya tafsirkan ya, karena memang kapasitasnya ga sampe jadi ahli tafsir. Tapi lihat sekilas pun dari pendalaman kalimat hadist diatas ya sama sama tau dan jelas ada korelasi antara silaturahmi dengan rejeki dan keberlangsungan hidup.
2. Pegang Prinsip Berbagi (Sedekah)
Kalo ngomong berbagi nih, aku pribadi punya prinsip. Bukan karena aku sok kaya mau bagi bagi entah itu uang, makanan, tenaga atau pikiran. Tapi karena pernah rasain, namanya orang ga punya itu perih dan ya bingung.
Dan tentunya berbagi bukan cuma soal uang. Bisa waktu, tenaga, atau ilmu.
Energi positif dari sedekah itu nyata.
Orang yang dermawan biasanya punya aura menyenangkan, dan itu menarik peluang baik datang ke hidupnya.
Semesta selalu menolong orang yang mau menolong sesama.
3. Selalu Belajar dan Membaca
Di era banjir informasi, bedanya orang maju dan mundur cuma satu: apa yang dia baca.
Bacalah dua hal:
-
Ilmu teknis (biar kamu relevan di dunia kerja atau usaha).
-
Ilmu prinsip hidup (biar kamu punya arah dan pondasi moral yang kuat).
4. Kuatkan Hubungan Keluarga dan Tetangga
Kadang kita terlalu sibuk ngejar dunia, sampai lupa sama yang paling dekat.
Padahal, fondasi hidup yang stabil itu lahir dari rumah yang damai.
Nabi Muhammad SAW mencontohkan hal ini: memperlakukan keluarga dengan kasih, menghormati tetangga, dan menanam kebaikan kecil yang hasilnya panjang.
Ingat di tengah dunia yang makin sibuk dan individualistis, keluarga dan tetangga adalah pondasi sosial yang sering kita lupakan.
Mereka adalah tempat kamu pulang, sumber ketenangan, dan kekuatan batin.
“Tidak beriman seseorang yang kenyang sementara tetangganya lapar.” (HR. Bukhari)
Kalau kamu punya hubungan kuat dengan keluarga dan lingkungan, kamu nggak pernah benar-benar sendiri.
Insight Akhir
Lima tahun ke depan bukan cuma ujian ekonomi, tapi juga ujian logika.
Kalau kamu bisa ubah cara berpikir — dari konsumtif ke produktif, dari individualis ke kolaboratif, dari takut gagal ke mau belajar — maka 2030 bukan akhir, tapi awal.
Mungkin kamu nggak bisa langsung kaya, tapi kamu bisa jadi versi terbaik dari dirimu.
Dan itu jauh lebih berharga daripada sekadar saldo rekening.
Karena pada akhirnya, dunia ini memang nggak akan berhenti berputar.
Tapi selama kamu punya arah, kompas, dan hati yang kuat — kamu nggak akan tersesat.
Oleh :
Zaenal Mustopa S.E
No Link dan Spam