Ada perjalanan-perjalanan tertentu dalam hidup yang awalnya terasa seperti rutinitas biasa, tapi entah kenapa justru meninggalkan kenangan yang begitu hangat.
Perjalanan saya ke Kebumen kali ini adalah salah satunya.
Saya berangkat dari Yogyakarta pada Minggu siang bersama istri dan dua anak kecil saya. Awalnya, ini murni perjalanan kerja—karena Senin paginya saya harus menghadiri sebuah agenda penting di Kebumen. Namun karena waktunya cukup longgar, saya memutuskan membawa keluarga sekaligus agar mereka bisa melihat Kebumen untuk pertama kalinya. Lagipula, sudah lama saya ingin mengajak mereka keluar kota tanpa perlu menunggu libur panjang.
Perjalanan Penuh Energi dari Belakang Mobil
Yang namanya perjalanan bersama anak kecil, pasti ada saja ceritanya. Dari awal berangkat, rasanya energi mereka tidak pernah habis. Sementara saya menyetir dan istri menjaga depan, suara dari bangku belakang sudah seperti pasar kecil yang tidak ada tutupnya.
Mereka membuat “rumah-rumahan” dari selimut yang sengaja kami bawa. Entah bagaimana, selimut itu disangkutkan ke kursi, digulung, dibentangkan, lalu dijadikan tenda. Kadang berubah jadi kastil. Kadang jadi mobil balap. Lima menit kemudian, bentuknya sudah lain lagi. Belum lagi mainan kecil yang mereka bawa dari rumah—mobil-mobilan, boneka kecil, bahkan satu buku yang ujung-ujungnya tidak dibaca tapi dijadikan alas makanan.
Ada satu momen ketika saya mendengar mereka tertawa terbahak-bahak karena adiknya mencoba menjadi “monster” di bawah selimut, lalu merangkak keluar sambil mengaum pelan. Istri saya menoleh sambil tertawa kecil, lalu berkata, “Energinya kok nggak habis-habis ya, Pak…”
Dan benar saja—tidak ada habis-habisnya. Mereka seperti punya sumber daya tersembunyi yang terus terisi ulang otomatis. Padahal kami belum sampai Kebumen. Tapi mungkin memang begitulah anak-anak: dunia bagi mereka selalu penuh kesempatan untuk bermain.
Meski kadang sedikit berisik, jujur saja, perjalanan seperti ini yang diam-diam saya rindukan. Suara mereka membuat perjalanan yang cukup panjang itu terasa singkat dan hangat.
Tiba di Pusat Kota Kebumen
Kami sampai di Kebumen sekitar pukul 15.30. Kota ini langsung terasa berbeda—lebih tenang dari Jogja, tapi punya kerapian dan suasana modern yang khas. Tujuan saya adalah Azana Hotel Kebumen, yang terletak di Jl. H.M. Sarbini No.109, Gunungmujil, Bumirejo, tepat di pusat kota.
Yang membuat lokasi hotel ini menarik adalah karena menyatu dengan sebuah mall, dan posisinya dekat sekali dengan Alun-Alun Kebumen. Di sekitar hotel, ada kawasan pedestrian yang dibuat rapi, sangat mirip suasana Malioboro versi mini—ramai tapi tertata, nyaman untuk jalan-jalan sore atau beli jajanan.
Begitu masuk area hotel, anak-anak langsung berhenti ribut. Mereka melihat ukuran bangunan hotel yang lumayan besar, dan seperti biasa—hal-hal baru membuat mereka antusias. Mereka berlari kecil menuju lobby sambil mengibas-ngibaskan selimut yang tadi masih dipakai untuk “rumah-rumahan”.
Check-In dan Masuk ke Kamar
Proses check-in cukup cepat. Saya memesan kamar Deluxe Twin, karena paling sesuai untuk kami berempat. Begitu masuk kamar, suasananya cukup nyaman—interiornya clean, modern, dan terasa hangat. Kamarnya juga cukup luas untuk anak-anak bergerak. Mereka langsung naik ke salah satu kasur, lalu menjadikannya markas baru.
Satu-satunya kekurangan hanyalah view kamarnya. Karena kebagian lantai 1, pemandangan luar tidak terlalu istimewa. Eh tapi jangan kebayang lantai 1 itu lantai dasar ya. Karena tadi pas naik lift dibawah lantai 1 ada GF dan Basement. Ya Tapi tak apalah buat anak-anak, yang penting bukan view. Yang penting adalah ruang untuk melompat-lompat sebentar sebelum kami memintanya tenang.
Ini foto penampakan kamar hotelnya :
Saya sempat beres-beres sebentar, mengambil napas, lalu menunaikan shalat Ashar. Rasanya ingin rebahan lebih lama, tapi sekitar pukul lima sore, suara anak-anak sudah memanggil lagi dari arah pintu.
“Pa, renang yuk! Pa, renang yuk!”
Mereka berseru dengan semangat yang sama besarnya seperti saat masih bermain rumah-rumahan di mobil.
Sebagai orang tua, saya tahu persis bahwa ajakan semacam ini tidak bisa ditunda. Kalau ditunda, yang terjadi justru:
lebih banyak pertanyaan, lebih banyak rengekan, lebih banyak “Pa, ayok pa?”.
Jadi saya ganti baju, ohya untuk handuk seperti pada umumnya dihotel yang ada kolam renangnya artinya sudah disedikana diarea kolam. Oke intinya lanjut mengajak mereka menuju kolam renang di lantai dua.
Aruna Swimming Pool – Tempat Sore Itu Menjadi Indah
Kolam renang hotel ini bernama Aruna Swimming Pool, dan berada di lantai 2. Begitu naik beberapa anak tangga terakhir, saya disambut oleh panorama yang tidak saya sangka.
Saat itu, matahari sedang turun perlahan, memberi warna jingga keemasan di langit Kebumen. Pantulan cahayanya tepat mengenai permukaan kolam, membuat air tampak seperti kaca bening yang diberi lapisan emas tipis. Di sisi kolam, ada tenda putih besar yang siluetnya tertimpa cahaya sunset. Indah sekali. Hangat, lembut, dan menenangkan.
Tapi yang lebih indah sebenarnya justru bukan pemandangannya, melainkan momen kecil ini:
ekspresi anak-anak ketika melihat kolam pertama kali.
Mata mereka membesar. Mulutnya terbuka. Langkah kecil mereka berubah jadi lari kecil. Tangannya meraih lengan saya sambil berseru lirih, “Pa, liat! Keren banget!”
Istri saya berdiri di samping saya sambil tersenyum lebar. Lalu dengan suara yang hampir seperti bisikan penuh rasa lega, ia berkata,
“Alhamdulillah, Pak…”
Hanya dua kata, tapi rasanya dalam sekali.
Kami langsung turun ke kolam. Anak-anak tentu saja yang paling duluan. Mereka seperti ikan kecil yang akhirnya menemukan lautan. Suara mereka menggema—tertawa, ciprat-cipratan air, teriakan kecil yang bahagia.
Saya sempat duduk sebentar di tepi kolam, menatap langit. Dan saat itu pula, dari arah barat, terdengar suara lantunan ayat suci Al-Qur’an dari toa Masjid Agung Kebumen. Samar tapi jelas. Merdu dan menenangkan.
Suara mengaji itu bercampur dengan suasana senja, dengan suara anak-anak bermain air, dengan angin semilir yang datang dari arah kota.
Kebumen benar-benar terasa seperti kota santri.
Dan sore itu, saya merasakannya dengan cara yang paling lembut.
Udara tidak terlalu panas, angin pelan membuat suasana terasa pas. Saya melihat istri ikut turun ke kolam, menyusul anak-anak sambil tersenyum. Sementara saya duduk di kursi dekat kolam, menikmati pemandangan kota dari ketinggian.
Ada sesuatu dalam sore itu yang membuat saya ingin berhenti sejenak.
Seperti dunia melambat.
Seperti Tuhan sedang memberi jeda kecil agar saya bisa menikmati yang sudah ada.
Saat Senja Berubah Jadi Ungu
Anak-anak tak berhenti berenang. Mereka mencoba setiap sisi kolam, berganti-ganti gaya, berlomba dari ujung ke ujung. Mereka tidak merasa lelah sama sekali. Istri saya bahkan sempat bercanda, “Ini kalau diturutin bisa sampai malam, Pak.”
Langit mulai berganti warna. Jingga memudar menjadi ungu. Lampu-lampu kota mulai menyala pelan. Dan anak-anak… tetap belum mau naik.
Baru setelah tubuh mereka mulai menggigil sedikit dan saya berjanji akan ajak mereka jalan-jalan ke area mall, barulah mereka setuju keluar dari kolam.
Malam di Azana dan Rencana Pagi Tanpa Sarapan Hotel
Kami kembali ke kamar dengan tubuh segar dan hati penuh. Setelah mandi, anak-anak langsung meminta susu dan tertidur dengan cepat—akhirnya, setelah seharian penuh energi meledak-ledak, mereka tumbang juga.
Saya dan istri duduk sebentar di pinggir kasur, menikmati ketenangan malam pusat kota Kebumen dari kaca kamar. Lampu jalan terlihat temaram. ya Tidak ramai berlebihanlah.
Kemudian malam tiba, setelah solat Magrib lanjut berburu kuliner.
Istri mulai scroll-scroll Google sambil membaca review kuliner khas Kebumen. Kami keluar membawa mobil, muter-muter kota sebentar, berharap menemukan tempat makan yang pas. Tapi lucunya, setelah beberapa menit pencarian dan menemukan satu tempat dengan rating bagus, ternyata lokasinya… persis di sebelah barat hotel. Kami saling pandang lalu tertawa kecil. Akhirnya mobil kami simpan lagi di basement parkir Azana Hotel, dan kami berjalan kaki saja menuju sana.
Tempatnya bernama Lesehan Mba Icha. Rame-nya bukan main. Dari kejauhan sudah terlihat orang hilir-mudik mencari tempat duduk. Begitu tiba, aku dan anak-anak langsung berburu meja kosong sementara istri maju memesan makanan.
Dan benar saja, meski ramai, pelayanan tetap cepat. Kami memesan bebek goreng dua porsi, ayam goreng satu, nuget untuk anak, serta lalapan gratis yang segar banget. Variasi sambalnya juga bikin mata auto berbinar: sambal tomat terasi, sambal ijo, sambal leunca, dan sambal bawang—semuanya bebas refill. Rasa bebeknya gurih, dagingnya lembut, sambalnya nendang, dan nasinya pulen hangat.
Pantas saja ramai, bahkan untuk duduk saja kami sempat bingung cari tempat. Tapi begitu makanan datang, semuanya terbayar. Suasana malam, angin kota Kebumen, dan hidangan yang nikmat membuat momen sederhana itu terasa istimewa.
Kemudian Paginya,
Saya memang sengaja tidak memesan paket sarapan hotel, karena sudah merencanakan sesuatu:
berburu kuliner pagi khas Kebumen sebelum berangkat kerja.
Mulai dari soto khas, lanting hangat, nasi penggel, hingga jajanan pasar yang biasanya hanya ditemukan saat pagi-pagi sekali.
Saya ingin merasakan pagi di Kebumen seperti warga lokal, bukan seperti tamu hotel.
Catatan Kecil di Ujung Hari
Sore itu, di kolam renang lantai dua Azana Hotel, saya belajar sesuatu yang sederhana tapi sering terlupakan:
bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari hal besar, tapi dari momen-momen kecil yang diberi waktu untuk disyukuri.
Tawa anak-anak yang tak pernah habis, senyum istri yang begitu tulus, suara mengaji dari masjid agung, semilir angin sore, air kolam yang memantulkan cahaya emas, dan langit yang perlahan berubah warna—semua berpadu menjadi satu kenangan yang sulit saya lepaskan.
Dan mungkin, perjalanan ke Kebumen kali ini bukan sekadar tugas kerja.
Ia adalah jeda kecil yang Tuhan sisipkan agar saya ingat bahwa hidup sering kali indah tanpa perlu terlalu banyak alasan.







Post a Comment for "Hotel Kebumen dan Pengalaman Kecil yang Menyentuh Saat Lihat Anak Di Moment Ini"
No Link dan Spam