• Contact us
  • Disclaimer
  • Privacy Policy
  • Langganan Artikel Gratis
  • SISTEM EKONOMI KELUARGA WARISAN NUSANTARA YANG WAJIB KITA PAHAMI !


    BUDAYA SISTEM EKONOMI KELUARGA WARISAN NUSANTARA
    ZaenalBook : Sistem Ekonomi Keluarga Nusantara

    Mendengar kata warisan nusantara tentu yang terbayang identik dengan pertanian, tradisional, jadul, dan lain sebagainya. Namun disadari atau tidak seiring perkembangan zaman dan teknologi kita justru melupakan beberapa warisan penting dalam hidup bermasyarakat dan menjalani kehidupan sehari-hari. Ketika berbicara kata kemajuan atau modern orang selalu saklek bahwa yang maju adalah yang kebarat-baratan. Hal ini terjadi hampir pada semua lini dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari cara berpakaian, berperilaku (belum gaul dan belum kekinian kalo belum kaya orang-orang bangsa barat). Bahkan yang lebih ironis sistem perekonomian dalam sekala kecil pun seperti keluarga, merasa belum maju kalo belum seperti kehidupan keluarga-keluarga orang-orang barat.

    Tengoklah China dan Jepang mereka maju karena belajar memperbaiki diri berdasar data sejarah dan budaya para pendahulunya. Tentunya hal itu disesuaikan dengan kehidupan sekarang. Meski tidak pada semua lini, namun untuk hal-hal pokok mereka tidak melupakannya. Begitupun dengan keluarga di Indonesia, kita dulunya adalah bangsa yang besar. Maka sudah sepatutnya kita belajar mempelajari dan memahami kesuksesan bangsa kita dimasa lampau. Seperti era Sriwijaya, Majapahit dan Mataram.

    Pada kesempatan kali ini pembahasan tidak akan terlalu melebar dan bahasa berat tentang sistem perekonomian. Namun yang akan kita bahasa adalah pada ruang lingkup skala kecil yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Ruang lingkup pembahasan akan sangat familiar kita temui di sekitar kita
    Keluarga adalah saatuan terkecil dari sebuah negara. Negara terbentuk salah satunya karena adanya kesatuan dan kesepakatan dari beberapa keluarga. Perlu diketahui keluarga juga dapat dikatakan sebuah Organisasi dan Badan Perekonomian. Dikatakan organisasi karena keluarga didalamnya memuat unsur organisasi yaitu adanya struktur dan anggota. Kemudian dikatakan Perusahaan sebab didalam keluarga tentu ada proses ekonomi yang berjalan. Mulai dari produksi, konsumsi maupun distribusi. Contohnya saja dalam keluarga ada kita kenal belanja bulanan harian dll. Meskipun tidak persis dikatakan badan perekonomian sebab tidak terlalu mengarah ke unsur Komersial (mengejar untung).

    Pada zaman sekarang, budaya memperkokoh ekonomi keluarga seperti zaman dahulu diera kejayaan dan kemakmuran nusantara mulai terkikis. Hal yang ironis adalah saat sebagian besar dari generasi keluarga muda sekarang lebih memprioritaskan kebutuhan sekunder bahkan tersier diatas kepentingan atau kebutuhan pokok.
    Contoh dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok, rumah misalkan :

    Rumah itu DIBANGUN Bukan diangsur

    Yaa..

    Budaya membangun rumah hampir terkikis, padahal kakek nenek jaman dulu sibuk memprioritaskan membangun rumah, dan tidak sedikit yg mewariskan properti terutama tanah-tanah luas bahkan sampai ke anak cucu.

    Mungkin statment ini tebantahkan dengan ungkapan “loh jaman dulu kan orangnya sedikit, jadi banyak lahan kosong jadi murah”. Ya bahwa demikian memang benar, namun point pentingnya bukan pada hal tersebut. Namun lebih dititik beratkan pada ke pola pikir dan perilaku konsumtif. Lagian mayoritas dari kita bila dibandingkan dengan orang-orang jaman dahulu, misalkan dengan nenek atau kakek kita. Tentu bilangnya, halah jadul ga kekinian. Pernyataan tersebut seolah meremehkan atau merasa orang sekarang lebih baik daripada generasi terdahulu.

    Yaa...

    Meninggalkan warisan, bukan meninggalkan hutang. Mengapa demikian? Mengapa mereka mampu? Mengapa orang modern ngurus 1 rumah kecil saja sampai 15thn?
    Padahal bila kita amati pada zaman dahulu sisi kehidupan masih dihadapkan pada banya keterbatasan.

    Salah satu alasannya adalah Karena orang jaman dahulu  selalu mempriotitaskan kebutuhan pokok, mereka rela tidak jalan-jalan, beli ini itu demi bisa menabung untuk membangun rumah. Cara menabungnya pun ideal, ada yang mencicil dari mulai beli pasir. Ingat dulu ketika masa kecil banyak anak kecil mainan pasir didekat rumah. Kemudian membuat batu bata sendiri, dll. Mungkin bila hal tersebut ditelan mentah-mentah jelas tidak sesuai apalagi untuk mereka yang hidup dikota akan cukup sulit. Namun sudut pandangnya adalah menempatkan dana pada sektor produktiv atau nilainya tidak tergerus inflasi.




    Kemudian sisi budaya hidup mereka layak dan memegang teguh budaya timur yang tidak konsumtif juga menambah keyakinan atas argument diatas. Selain itu ada pula pernyataan dari sisi Agama bahwa uang zaman dahulu tidak tergerus riba. (Bunga majemuk dan bunga lainnya yang sifatnya diluar ketentuan syariah). Hal ini sangat penting dan perlu diyakini secara mendalam.

    Keluarga Mereka hidup sederhana dan tidak ngoyo.

    Berperilaku dan melakukan konsumsi atas barang dan jasa sesuai kebutuhan bukan berdasar keinginan. Tidak mudah terpancing gengsi tetangga dan sebagainya. Berprinsip fokus pada masalah diri sendiri, sibuk mencari kekurangan keluarga sendiri dibandingkan memperhatikan kekurangan keluarga lain. Tentu akan menambah rasa tenang dan bahagia yang nanti ujungnya pada peningkatan produktivitas keseharian kita.

    Mereka selalu berinvestasi jangka panjang.

    Hartanya bertumbuh seiring bertumbuhnya pohon yang mereka tanam, ternak yang beranak pinak. Masalahnya sekarang adalah berternak adalah hal yang bikin gengsi untuk dilakukan, apalagi menanam pohon sudah jelas makin banyak alasan untuk tidak dilakukan. Mulai dari tidak punya lahan dan lain sebagainya. Padahal kalo kamu mau jalan keluar jauh dan memperbanyak kenalan, banyak lahan-lahan kosong di pegunungan milik pemerinta atau swasta yang siap joint untuk ditanami pohon. Masalahnya hanya banyak alasan dan malas.

    Budaya modern adalah menabung dengan hutang padahal terkena bunga bunga tambahan. Contoh banyak sekali ditemui disekitar kita keluarga muda yang menyatakan, “Ah kredit barang A, itung-itung nabung buat simpenan”. Padahal mau diteliti atau dipelajari lebih jauh, justru hal ini berbanding sebaliknya. Kesalahannya bukan pada “tidak punya uang” melainkan pada Mindset berfikir dan KEDISIPLINAN PENGELOLAAN HARTA. Mengapa harta kalo tidak utang/kredit barang tidak terkumpul, karena kita tidak konsisten terhadap cita-cita dan tujuan keluarga. Contoh keluarga A ingin memiliki Motor dengan merk Terkenal, pasti yang terpintas pertama adalah kredit. Cobalah cara lain, yaitu dengan bekerja keras dan konsisten menabung (pada sektor produktiv) ingat menabung bukan hanya dibank. Bisa juga dalam bentuk emas, saham, reksadana, Pohon, ternak, Matrial bangunan dan lain sebagainya. Lakukan manajemen pengelolaan yang disiplin dan tertata. Bayangkan bahwa keluarga anda memiliki Kredit atau setoran setiap bulannya.

    Ingat jangan sampai hasil kerja keras kita banyak mubadzir dimakan oleh pemakan riba.

    Belum denda, asuransi, anuitas, bea tarik dan macam2 pungutan yg belum jelas untuk apa atau hanya untuk sektor konsumtif.

    Boleh percaya boleh tidak.

    Kesaksian beberapa orang yang ditemui, rumah tanpa angsuran itu jauh lebih nyaman, seperti apapun bentuknya, sudah selesai atau belum.

    Jadi salah satu fokus pada pemenuhan kebutuhan pokok disini adalah mengembalikan tradisi yang hampir punah.

    Yaitu Membangun Rumah.
    Bukan mengangsur.




    Kemudian dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok lainnya seperti pakaian dan makanan.

    Pakaian

    Orang zaman dahulu ketika berbicara pakaian, mereka akan memprioritaskan kebutuhan diatas keinginan. Meski sadar betul bahwa budaya glamor pun sudah ada sejak zaman sebelum masehi. Namun point pentingnya adalah pada mindset mendahulukan kebutuhan diatas keinginan.

    Makanan

    Orang modern rela mengeluarkan uang berapapun demi memuaskan lidah. Padahal indera perasa hanya dirasa hanya pada lidah yang panjangnya tidak sampai 15cm. Selebihnya semua menyesuaikan kebutuhan tubuh. Akibatnya munculah berbagai macam penyakit, ingat sumber penyakit adalah dari konsumsi makanan yang tidak sesuai.

    Berbeda halnya dengan nenek moyang kita, yang kebanyakan makan makanan yang masih organik dan sesuai porsi. Ya zaman dahulu pun sama,ada yang makannya kalo ga enak ya ga makan. Namun point pentingnya adalah pemenuhana kebutuhan makanan yang sesuai dengan kebutuhan bukan pada nafsu semata.

    Endingnya juga sama ketika makan tidak sesuai, maka yang ada adalah sakit dan pengeluaran uang banyak. Keluarga zaman dahulu mengutamakan kebersamaan terutama dalam hal makan. Ingatlah ketika kecil dulu sering sekali makan 1 meja secara bersamaan dengan seluruh anggota dan yang penting adalah hasil masakan sendiri. Budaya ini mulai luntur, banyak keluarga masa kini yang makan tidak mau ribet beli saja diluar makan bersama. Padahal makan bersama dirumah bersama keluarga dan masakan sendiri secara tidak langsung menumbuhkan rasa kebersamaan, keharmonisan dan kebiasaan baik. Disisi lain adalah biaya yang dikeluarkan pun lebih kecil dibandingkan makanan serupa bila beli diluar.