• Contact us
  • Disclaimer
  • Privacy Policy
  • Langganan Artikel Gratis
  • Wajar Rakyat Marah, Data BPS Bongkar Realita

    Ada kalanya kita merasa seperti sedang duduk di sebuah warung kopi, mendengar cerita-cerita sederhana tentang bagaimana uang belanja bulanan makin menipis, sementara harga kebutuhan sehari-hari terus naik. Rasanya seperti perahu bocor yang tetap dipaksa berlayar. Inilah realita yang sedang dirasakan rakyat Indonesia. Dan wajar bila rakyat bertanya-tanya: ke mana larinya uang negara yang begitu besar?


    1. Anggaran DPR Lebih Besar dari Anggaran Subsidi

    Bayangkan kita punya uang di rumah, ada Rp10.000. Dari uang itu, Rp7.000 dipakai untuk jajan di luar, sisanya hanya Rp3.000 untuk beli beras. Rasanya aneh, bukan? Begitulah yang terjadi saat melihat alokasi anggaran DPR yang begitu besar, bahkan sering dibandingkan dengan anggaran subsidi rakyat yang nilainya lebih kecil. Padahal, subsidi menyentuh langsung kebutuhan masyarakat, seperti listrik, BBM, hingga pupuk.

    Ironinya, subsidi sering kali dianggap beban negara, sementara anggaran untuk fasilitas DPR seakan bukan masalah. Kita bisa melihat bagaimana ruang rapat dilengkapi kursi empuk, perjalanan dinas ke luar negeri berjalan rutin, dan mobil dinas tetap berganti setiap periode. Sementara rakyat masih harus berhemat untuk sekadar membayar listrik yang naik.

    Perasaan ini bikin rakyat seperti ditampar. Mereka tahu pajak yang dibayarkan seharusnya kembali dalam bentuk layanan publik. Tapi kenyataannya, justru anggaran DPR yang lebih tampak ‘gemuk’. Wajar kalau kemudian muncul rasa jengkel: mengapa uang rakyat tidak diprioritaskan untuk kebutuhan rakyat itu sendiri?


    2. Utang Negara yang Menumpuk

    Utang negara Indonesia per Juni 2025 tercatat lebih dari Rp8.300 triliun. Angka ini ibarat kita meminjam ke tetangga untuk membiayai hidup sehari-hari. Boleh saja sekali dua kali, tapi jika terlalu sering, lama-lama bunganya bisa mencekik. Apalagi bunga utang harus tetap dibayar, sementara rakyat sendiri masih kesulitan memenuhi kebutuhan pokok.

    Masalahnya, utang itu bukan hanya soal angka, tapi juga soal beban generasi. Kalau kita meminjam hari ini, maka anak cucu kita yang harus ikut membayar cicilannya. Rasanya mirip seperti orang tua yang ngutang ke sana-sini, tapi meninggalkan tagihan kartu kredit buat anaknya. Situasi ini tentu bikin rakyat semakin pesimis dengan masa depan.

    Lebih ironis lagi, utang itu sebagian dipakai untuk menutup defisit, bukan untuk investasi produktif. Jadi ibaratnya, kita ngutang bukan untuk buka usaha warung, tapi untuk bayar uang kontrakan. Hidup sih jalan, tapi nggak ada pertumbuhan. Dari sinilah muncul keresahan, apakah negara sedang benar-benar mengatur keuangan dengan bijak, atau hanya sekadar menambal bocor di sana-sini?


    3. Rakyat Dibebani Pajak

    Pajak bagaikan iuran RT yang wajib dibayar tiap bulan. Bedanya, iuran RT sering kali terasa manfaatnya langsung—lampu jalan menyala, keamanan terjaga. Tapi bagaimana dengan pajak? Banyak rakyat merasa, setelah bayar pajak, mereka masih harus bayar sendiri pendidikan, kesehatan, bahkan air bersih. Rasanya seperti bayar dua kali.

    Rakyat tidak menolak bayar pajak. Mereka hanya ingin melihat hasil yang nyata. Bayangkan seseorang yang tiap bulan rajin setor uang ke bendahara RT, tapi ketika minta lampu jalan diganti malah diminta iuran lagi. Ada perasaan nggak adil di situ. Dan ketika hal ini menumpuk, rasa kecewa berubah menjadi marah.

    Masalahnya, transparansi pajak di Indonesia masih sering dipertanyakan. Masyarakat jarang tahu ke mana perginya uang yang mereka bayarkan. Alih-alih ke layanan publik, justru muncul berita pejabat pajak pamer harta dan korupsi. Itu seperti ketahuan kalau bendahara RT tadi pakai uang iuran buat beli motor baru. Nggak heran kalau akhirnya rakyat makin skeptis.


    4. Kemiskinan yang Masih Tinggi

    Data BPS Maret 2025 menyebutkan, masih ada sekitar 25,22 juta penduduk miskin di Indonesia. Bayangkan, itu setara dengan seluruh penduduk Jawa Barat! Mereka hidup di bawah garis kemiskinan, dengan pengeluaran kurang dari Rp600 ribu per bulan. Artinya, masih banyak saudara kita yang memilih makan sekali sehari atau mengurangi lauk hanya demi bertahan hidup.

    Di satu sisi, kita sering mendengar klaim bahwa ekonomi Indonesia tumbuh. Tapi pertanyaan sederhana muncul: tumbuh untuk siapa? Karena kalau ekonomi tumbuh tapi tidak bisa menurunkan angka kemiskinan secara signifikan, berarti ada yang salah dalam pembagian hasil pertumbuhan tersebut.

    Kemiskinan ini juga berdampak domino: anak-anak putus sekolah, akses kesehatan minim, hingga kualitas hidup menurun. Mereka yang miskin semakin sulit keluar dari lingkaran kemiskinan. Ibarat bermain monopoli, mereka selalu harus mundur ke kotak start, sementara orang kaya sudah keliling papan berkali-kali.


    5. Lapangan Kerja yang Sempit

    Tingkat pengangguran terbuka Indonesia per Februari 2025 mencapai 5,4% atau sekitar 8,1 juta orang. Seperti di sebuah kampung dengan 100 pemuda, ada 5 hingga 6 orang yang tidak punya pekerjaan. Akibatnya, mereka bergantung pada keluarga atau mencari jalan pintas. Hal ini membuat ekonomi keluarga semakin berat.

    Masalah pengangguran bukan hanya soal tidak ada pekerjaan, tapi juga soal kualitas pekerjaan yang tersedia. Banyak orang yang bekerja, tapi dengan upah rendah dan tanpa jaminan. Mereka yang lulusan kuliah pun sering terjebak jadi pekerja kontrak dengan masa depan abu-abu. Ini membuat generasi muda kehilangan harapan.

    Di tengah situasi ini, muncul fenomena "brain drain", di mana anak muda berbakat lebih memilih mencari pekerjaan di luar negeri. Bukan karena tidak cinta Indonesia, tapi karena merasa di sini jalannya buntu. Bayangkan potensi besar yang hilang hanya karena negara gagal menyediakan ruang untuk mereka berkembang.


    6. Korupsi yang Merajalela

    Kasus korupsi di Indonesia seperti penyakit menahun yang tak kunjung sembuh. Menurut laporan Indonesia Corruption Watch, kerugian negara akibat korupsi sepanjang 2024 mencapai Rp53,2 triliun. Ibaratnya, kita sedang menampung air hujan di ember bocor. Sebanyak apapun air yang masuk, tetap saja hilang karena bocornya terlalu besar.

    Korupsi tidak hanya merugikan negara secara materi, tapi juga merusak moral bangsa. Bagaimana rakyat bisa percaya pada pemerintah jika yang ditampilkan hanya drama penangkapan demi penangkapan? Seolah-olah korupsi itu sudah jadi bagian dari budaya, bukan lagi pengecualian.

    Dan yang lebih menyakitkan, korupsi sering dilakukan oleh mereka yang seharusnya melindungi rakyat. Sama seperti dokter yang diam-diam malah menyebarkan penyakit. Kepercayaan publik pun terkikis. Akhirnya, rakyat merasa marah karena mereka sadar bahwa uang pajak yang dibayarkan sebagian besar tidak benar-benar kembali kepada mereka.


    7. Kesenjangan Sosial yang Lebar

    Bukan rahasia lagi jika segelintir orang menikmati kekayaan berlimpah, sementara sebagian besar rakyat masih berjuang. Laporan World Bank 2023 menyebutkan, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai lebih dari 16% kekayaan nasional. Bayangkan sebuah kue ulang tahun: satu orang mengambil sepotong besar hampir seperlima kue, sementara sisanya harus berebut potongan kecil.

    Kesenjangan ini bukan sekadar angka. Ia terlihat di jalan setiap hari: di satu sisi ada gedung pencakar langit yang mewah, di sisi lain ada pemukiman kumuh yang hampir roboh. Kontras itu bikin rakyat bertanya, apakah kita hidup di negara yang sama?

    Dan kesenjangan ini berbahaya. Ia bisa memicu kecemburuan sosial, meningkatkan kriminalitas, bahkan mengguncang stabilitas politik. Karena ketika rakyat merasa tidak punya kesempatan yang sama, mereka bisa mencari cara sendiri—bahkan dengan jalan yang ekstrem.


    8. Harga Kebutuhan Pokok Terus Naik

    Setiap kali ke pasar, kita sering kaget. Harga beras, cabai, dan telur terus naik. Data BPS Juli 2025 mencatat inflasi tahunan mencapai 3,3%, didorong oleh kenaikan harga pangan. Bagi ibu rumah tangga, ini seperti main puzzle dengan potongan yang tak pernah pas: gaji segitu-gitu saja, tapi harga kebutuhan makin tinggi.

    Kenaikan harga ini membuat rakyat makin sulit mengatur keuangan. Mereka terpaksa mengurangi kualitas makanan, mengalihkan konsumsi daging ke tahu-tempe, bahkan ada yang memilih berutang ke warung. Sementara di televisi, pejabat dengan enteng berkata, “Inflasi masih terkendali.”

    Padahal, inflasi itu bukan sekadar persentase. Ia adalah rasa pusing seorang ibu yang harus memutuskan apakah hari ini anaknya makan dengan lauk lengkap atau tidak. Dan ketika realita itu bertabrakan dengan klaim pemerintah, wajar bila rakyat merasa muak.


    Kesimpulannya, Mengapa Rakyat Wajar Marah?

    Marah bukan berarti benci. Marah lahir karena rasa cinta yang dikhianati. Rakyat marah karena merasa tidak diperhatikan, merasa uang mereka tidak dikelola sebagaimana mestinya. Seperti anak yang marah pada orang tua ketika uang jajan disalahgunakan.

    Di balik kemarahan itu sebenarnya ada harapan. Harapan bahwa negara ini bisa lebih baik, bahwa suara rakyat bisa benar-benar didengar. Sayangnya, gedung megah bernama DPR sering kali lebih sibuk dengan kepentingan sendiri.

    Itulah sebabnya, rakyat marah. Karena mereka tahu, mereka layak mendapatkan lebih dari sekadar janji.

    Referensi data :

    Kementerian Keuangan Republik Indonesia – APBN Kita (Agustus 2025)

    👉 https://www.kemenkeu.go.id/apbnkita

    Badan Pusat Statistik (BPS) – Statistik Kemiskinan Indonesia Maret 2025

    👉 https://www.bps.go.id

    Transparency International – Corruption Perceptions Index 2024

    👉 https://www.transparency.org/en/cpi/2024

    ICW (Indonesia Corruption Watch) – Laporan Tren Penindakan Kasus Korupsi 2024

    👉 https://antikorupsi.org

    Bank Dunia (World Bank) – Indonesia Economic Prospects 2025

    👉 https://www.worldbank.org/en/country/indonesia

    OJK (Otoritas Jasa Keuangan) – Statistik Perbankan Indonesia 2025

    👉 https://www.ojk.go.id

    Kementerian ESDM – Data Subsidi Energi 2025

    👉 https://www.esdm.go.id

    Bappenas – Laporan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2025

    👉 https://www.bappenas.go.id